Sabtu, 02 April 2011

TRADISI PENYAMBUTAN JAMA’AH HAJI DIKALANGAN MASYARAKAT DI DUSUN MORLEKE DESA BIRA TIMUR SOKOBANAH SAMPANG MADURA

BAB I
LATAR BELAKANG
1. Pendahuluan
Pemerintah Hindia Belanda sendiri menyebut bahwa kaum haji di Madura pada awal-awal abad 20 telah mencapai 4 orang per seribu penduduk. Para haji tersebut juga menjadi transformer Ideologi Islam anti-kolonialisme. Pengaruh Ideologi Islam dari luar inilah konon yang mengilhami pemberontakan Kiai Semantri dari Prajan Sampang pada tahun 1895. Disinyalir, Kiai Semantri mendapatkan ilham untuk melawan Belanda setelah dikader seorang haji alumni Makkah (Kuntowijoyo:1988). Naik haji di masa lalu sangat sulit. Selain keterbatasan finansial karena harus membeli tiket pergi pulang (retourbiljetten) yang mahal, transportasi juga menjadi problem sendiri. Para zaman sebelum tahun 1922, embarkasi haji (Pelgrimshaven) hanya terdapat di Batavia dan Padang.
Dapat dibayangkan, bahwa para jamaah haji Madura saat itu harus pergi terlebih dulu ke Batavia baru kemudian naik kapal laut menuju Jeddah. Apalagi, biaya haji saat itu sangatlah mahal yang berkisar antara 570 sampai 856 gulden pada awal abad 20. Sulitnya transportasi di masa lalu itu, juga menyebabkan para haji biasanya berperan ganda
Menyentuh dari tradisi penyambutan jmaah haji dikalangan masyarakat madura dusun morleke desa bira timur sokobanah sampang dalam penyambuta jama’ah haji, tentu sangat kental sekali dalam menbudayakan tradisi. Sehingga dalam tradisi ini meruapakan keharmonisan keluarga dalam penyambutan keluaganya yang baru datang dari tanah suci, yakni dari mekkah.Akan tetapi masyarakat madura khususnya belum mengenal secara mendalam dengan tradisi tersebut,
Dengan de
2. RUMUSAN MASALAH
Dari pembahasan tersebut di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah yang akan menjadi kerangka dari pembahasan masalah ini, dan rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Apa alasan masyarakat di dusun morleke desa bira timur sokobanah sampang madura penyambutan jam’ah haji harus dimeriyahkan?
2. Bagaimana pandangan masyarakat di dusun morleke desa bira timur sokobanah sampang madura penyambutan jam’ah haji harus dimeriyahkan, jika jama’ah haji tidak disambut dengan meriyah?
3. TUJUAN PENELITIAN
Mengacu pada rumusan masalah di atas maka jelas sudah tujuan dari penelitian masalah ini yang di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan adanya Tradisi Penyambutan Jamaah Haji Dengan Mriyah Di Dusun Morleke Bira Timur Sokobanah Sampang.
2. Menformulasikan eksistensi terhadap Tradisi Penyambutan Jamaah Haji Dengan Mriyah Di Dusun Morleke Bira Timur Sokobanah Sampang
3. Sejauh dimana Tradisi Penyambutan Jamaah Haji Dengan Meriyah Di Dusun Morleke Bira Timur Sokobanah Sampang

4. MANFAAT PENELITIAN
Dengan adanya tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat member mamfaat dan kegunaan baik secar teoritis maupun secara praktis. Mamfaat dan kegunaan tersebut antara lain:
• Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermamfaat dalam menambah dan mengembangkan khazanah keilmuan mengenai perdebatan eksistensi tradisi penyambutan jamaah haji khususnya yang dilihat dari kalangan masyarakat dusun morleke desa bira timur sokobanah sampang.
• Secara praktis penelitian ini dapat dimamfaatkan sebagai bahan referensi bagi kalangan akademis, masyarakat umum, dan peneliti lainnya dalam menggali permasalahan yang berkaitan dengan tradisi penyambutan jamaah haji, sehingga nantinya diharapkan lebih mampu dan lebih baik mereaktualisasi permasalah eksistensi tradisi jamaah haji dalam menghasilkan suatu karya yang lebih progresif mengikuti semangat zaman yang baru dan dapat pula sebagai acuan mensjahtrakan keharmunisan sesama insannya.
5. METODE PENELITIAN
a. Jenis Penelitian

Sesuai dengan objek kajian penelitian ini, maka jenis penelitian yang peneliti gunakan adalah penelitian kepustakaan Library Research dengan pendekatan deskriptif kualitatif yang datanya berupa teori, konsep, dan ide yang diperoleh. Pendekatan deskriptif kualitatif, bertujuan mengungkapkan atau mendeskripsikan data atau teori yang telah diperoleh. Sedangkan teori dan konsep yang dipilih dalam penelitian ini adalah tradisi penyambutan jamaah haji
b. Teknik Pengumpulam Data
Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan metode dokumentasi, yaitu dengan melakukan penelitian data dari sumbernya berupa dokumen, fakta dan catatan. Metode pengumpulan data dalam studi kepustakaan atau dokumentasi dilakukan dengan pencatatan berkas-berkas atau dokumen-dokumen yang ada hubungannya dengan materi yang dibahas. Suharsimi Arikunto menjelaskan metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel-variabel yang berupa catatan, trankrip, buku, prasasti, dan notulen rapat.
Terkait dengan metode dokumentasi ini, maka peneliti mencoba untuk mengumpulkan sumber-sumber referensi yang berhubungan dengan judul yang diangkat yaitu hak ijbar wali khususnya karya-karya para imam mazhab yang membahas tentang hak ijbar wali tersebut.
c. Sumber Data
Sumber data yang digunaka dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, karena akan mengkaji literature / kepustakaan, yang meliputi:
d. Analisi Data
Pengolahan dan analisi data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, pengorganisasian data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Pengolahan dan analisis data atau informasi dilakukan untuk menemukan makna setiap data dan informasi, hubungannya antara satu dengan yang lain dan memberikan tafsiran yang dapat diterima secara akal sehat (common sense) dalam konteks masalanya secara keseluruhan, untuk itu data atau informasi tersebut dihubung-hubungkan dan disbanding-bandingkan satu dengan yang lain.
Pengolahan dan analisi data dalam penelitian ini, yaitu ada lima tahap, sebagaimana berikut:
• Edit (Editing)
Untuk mengetahui sejauh mana data-data yang diperoleh baik yang bersumber dari hasil observasi, wawancara atau dokumentasi, sudah cukup baik dan dapat segera disiapkan untuk keperluan proses berikutnya, maka pada bagian ini peneliti merasa perlu untuk menelitinya kembali terutama dari kelengkapan data, kejelasan makna kesesuaian serta relevansinya dengan rumusan masalah dan yang lainnya, maka secara global data-data yang diteliti kembali adalah konsep hak ijbar wali dalam pandangan imam mazhab empat dan teori tentang hak ijbar wali dalam perspektif gender.
• Klasifikasi (classifying)
Setelah melakukan edit data, peneliti mereduksi data yang ada dengan cara menyusun dan mengklasifikasi data yang diperoleh ke dalam pola tertentu atau permalasahan tertentu untuk mempermudah pembahasannya.
• Verifikasi (verifying)
Sebagai langkah lanjutan peneliti memeriksa kembali data yang diperoleh, misalnya dengan kecukupan referensi, triangulasi, (pemeriksaan melalui sumber lain) dan teman sejawat agar validitas terjamin, selain itu, juga untuk mempermudah peneliti dalam mengisi data.
e. Analisis (analiyzing)
Sedangkan metode analisa yang peneliti gunakan adalah deskriptif komparatif dengan mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan dan membuat ikhtisar sehingga dengan begitu diperoleh data yang benar-benar fokus dengan masalah yang dikaji. Maka dari itu dalam menganalisis peneliti mengkaitkan, dan menggambarkan secara jelas tentang konsep hak ijbar wali dalam pandangan imam mazhab empat dan hak ijbar wali dalam perspektif gender serta pandangan gender terhadap hak ijbar wali perspektif imam mazhab empat.
f. Konklusi (concluding)
Langkah terakhir adalah konklusi atau penarikan kesimpulan, yakni dengan cara menganalisa data secara komprehensif serta menghubungkan makna data yang ada kaitannya dengan masalah penelitian. Langkah terakhir ini harus dilakukan secara cermat dengan mengecek kembali data-data yang telah diperoleh, khususnya tentang konsep hak ijbar wali dalam pandangan imam mazhab empat perspektif gender.


BABA II.
TINJAWAN PUSTAKA
a. Definisi Tradisi
Tradisi merupakan salah satu prilaku yang tidak boleh dipisahkan. Tradisi (Bahasa Latin: traditio, "diteruskan") atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi dan kebiasaan yang diteruskan dari generasi ke generasi baik perilaku,tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.
Ada yang mrngatakan bahwa, tradisi adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yg masih dijalankan di masyarakat penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yg paling baik dan benar perayaannya, janganlah hanya merupakan, keharusnnya yang dihayati maknanya dalam artian men-tra-di-si menjadi tradisi tingkah laku yg berlebihan dan omong besar dari pemimpin-pemimpin yg telah haruslah dihapuskan. Men•tra-di-si-kan menjadikan tradisi: seperti tradisi penyambutan jam’ah haji yang meriyahkan dikalangan masyarakat madura dusun morleke desa bira timur sokobanah samapang.
Dengan demikian tradisi masyarakat khususnya dikalangan dusun morleke bira timur sokobanah samapang madura merupakan peninggalan nenek muyang yang tidak boleh ditinggal, bahkan tradisi tersebut dijadikan sebuah hokum adat yang mana tradisi itu harus dilaksanakan pada umumnya.
b. Aspek Kekeluagaan Pengarunhya
kematangan spritual dan budaya sehingga masyarakat madura khususnya mengataka ;
“Jika usahanya sukses dan kaya, apa impian dia. Jawabnya: naik haji. Seakan keislaman seseorang tidak lengkap jika belum naik haji”.
Haji bagi masyarakat Madura khususnya di dusun morleke desa bira timur sokobanah sampang madura melambangkan vitalitas yang sinkronis-diakronis antara Islam dan kultur lokal. Ungkapan Ka’ Towan dan Bhu’ Towan bagi orang yang sudah naik haji dalam tradisi Madura masa lalu menunjukkan proses sinkronisasi tersebut.
Dalam leksikon Madura, ka’ Towan dan buk towan dinisbahkan bagi individu yang tercampur dalam dirinya darah keturunan Arab. Secara kultural, Towan (Indo-Arab) menjadi sebuah penanda simbolisasi sakralitas akan tanah Arab yang dianggap suci. Dengan demikian, tanah Arab dianggap bukan saja sebuah poros spiritual, lebih daripada itu ia merupakan magnet kultural yang dapat direferensi secara tematik. Para haji dianggap memiliki kedudukan kultur sejajar dengan towan Arab yang memiliki tempat tersendiri dalam harmoni masyarakat dusun morleke bira timur sokobanah .
Disatu sisi lain orang msyarakat setempat seringkali mengibaratkan naik haji laksana perang. Di samping tanpa megenal lelah butuh beaya besar, naik haji membutuhkan kekuatan fisik dan mental-psikologis, sekaligus. Bayangkan. Satu bulan menjelang pemberangkatan, orang yang mau naik haji sudah harus menerima tamu. Siang-malam, pagi-sore. Para tamu datang untuk memberi dukungan spiritual. Mendoakan agar si calon pulang dengan selamat dan menjadi haji yang mabrur. Atau nitip didoakan, biar tahun berikutnya giliran para tamu yang dipanggil. Karena kemaauwan dan antusias terhadap masyarakat tersebut ingin seperti melaksanakan rukun islam yang ke V, meskipun masyarakat tersebut tidak mampu untuk melaksanakannya, sehingga mereka menyimpulkan bahwa, hidup sebagai orang islam tanpa melaksanakan melaksanakan ibadah haji itu orang yang kurang sempurna islamnya.
Menjelang keberangkatan seperti bapak K. H. Abd Wahi d bersama istrinya nyai Hj. Zuiyinah para tamu semakin membeludak. Puncaknya ketika mau berangkat. Ibarat orang mau perang, sebelum meninggalkan rumah si calon diadzani. Suasana ketika itu senyap. Hanya isak tangis keluarga, tetangga, dan sanak famili. Semua hanyut dalam kesenyapan sembari mendoakan agar si calon haji pulang dengan “kemenangan” atau mejadi haji “mabrur”. Menang dan mabrur dalam menaklukkan medan berat, terutama dalam menunaikan rukun dan syarat sah-nya haji sebagaimana yang telah dicantumkan dirukun islam no V.
Sehingga antusiasme dalam melaksanakan ibadah haji sangat besar sekali tanpa memikirkan perhintungan antara biaya masukan dan keluar, itu merupakan suatu hal biasa bagi mereka, dengan catatan masyrakat setempat (calon naik haji)hanya ingin melaksanakan demi kepentingan beridah yakni mengikuti sunnah Nabi dan sebagaimana yang sudah diperintahkan oleh syariat islam.
Inilah cara orang Madura dikalangan masyarkat didusun morleke desa bira timur sokonah sampang naik haji. Naik haji bagi orang masyarakat tersebut bukan sekedar ritual keagamaan, tetapi juga peristiwa budaya.

c. Asal Mula Tradisi Penyambutan Jama’ah Haji dengan meriyah
Historiografi haji Madura masa lalu pun memperkuat hal ini. Posisi para haji yang demikian penting terkadang mengundang pemerintah Belanda untuk mengawasi para haji yang baru pulang dari tanah suci. Politik spionase ini dipicu teori politik Snouck Hurgronje tentang hubungan antara ibadah haji dengan Pan Islamisme. Para haji nusantara termasuk Madura sendiri disinyalir terpengaruh oleh ide ini. Pan Islamisme, nasionalisme, transformasi keilmuan Islam serta tentunya penyebaran bahasa Melayu menjadi sisi penting dari ibadah haji
Akan tetapi, kembali kepada masyarakat dusun morleke desa bira timar sokobanah sampang dengan adanya tradsis penjembutan jamaah haji dengan meria itu mulae Sejas dulu akan tetapi menurut K. H. Abd Wahid mengatakan, pada tahun 1976, yakni salah satu orang perempuan yang benama Hj Mujo yang melaksanakan jamaah haji, dan itu adalah termasuk neneknya K. H. Abd Wahid. Kemudian pada penjemputannya dijemput kebandara Surabaya yang berbondong-bondong sebanyak 5 mobil. Sehingga kekompakan masyarakat dan kesemangatan untuk menjemput jamaah haji Sanga besar demi menjaga kesejahtraan masyarakat dusun morleke desa bira timur.
d. Pentingnya Penyambutan Jama’ah Haji Dengan Meriyah
Selama di tanah suci, dirumahnya K. H, sadrih dan Nyai Hj. Satrani yang baru melaksakan ibadah haji pada tahun 2010 sekarang, para sanak famili dan tetangga setiap malam ba’da shalat magrib, akan berkumpul di rumah si calon. Selama 40 hari mereka berdoa untuk keselamatan dan kemabruran si calon haji dengan membaca surah yasiin. Doa seperti hilir mudik antara rumah tinggal si calon-dan makkah. Melampaui batas-batas ruang dan waktu. Si calon haji menjadi dekat dengan sanak familinya di rumah kerena dimediasi dengan doa yang digelar sampai si calon haji tiba kembali di rumah. Tiap malam.
Menjelang datang, rumah sudah dihias. Tulisan “selamat datang dari tanah suci” di tempel di tembok rumah. Ada juga tulisan “semoga menjadi haji mabrur”. Atau kaligrafi yang mengambil ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan haji. Tentu bukan sekedar tulisan, di dalamnya tersirat doa.
Bahkan di rumah calon haji yang kebetulan kaya, suasana lebih meriah lagi. Tidak cukup tulisan, tapi mencoba menghadirkan nuansa makkah di rumah. Gambar ka’bah, onta, padang pasir dihadirkan dalam citra. Dalam dunia imagi. Orang-orang yang terlibat dalam “kesemarakan” penyambutan itu mencoba merasakan suasana makkah meski dalam dunia citra dan imagi. Dan pula terop dari beberapa terop yang didirikan didepan halaman rumah, sond sisitem yang sudah terpangpang untuk melantungkan nasyid-nasyid islami penyambutan jamaah haji.
Ketika datang, orang yang berkunjung ke rumah pak haji semakin banyak. Biasanya, pak haji akan dijemput oleh ratusan orang lengkap dengan mobil dan motor ke kabupaten. Dari kabupaten iring-iringan mobil dan motor itu membentuk konvoi. Paling depan barisan motor yang jumlahnya bisa ratusan dibelakangnya mobil pak haji, kemudian berurutan mobil penjemput lainnya. Jika pak haji orang berada atau orang terhormat, panjang konvoi sepeda motor dan mobil penjemput itu bisa mencapai rata-rata -+ 80 km.
Menurut K. H. Abd Wahid, bahwa pentingnya dalam penyambutan jamaah haji dengan meriyah adalah ;
1. Mengikuti sunnah Nabi, dimana Nabi SAW waktu pulang dari mekkah menuju kemadinah itu diseambut dengan meriyah dan dihadiri penbacaan burdah dan hadrah,
2. untuk mencari berokah kepada orang yang dateng dari tang suci.
3. menjalin kebersamaan dan keharmonisan atntara sesama masyarakatnya.
4. ingin menbuktikan bahwa masyarkat dusun morleke bira timur sokobanah sampang hanya mencari rilda’ allah
untuk lebih tahu labih jelasnya terhadap penyambutan jamaah haji dengan meriyah sebagai berikut ;
No Nama Tgl danTahun penjemputan Banyaknya mobil Banyaknya sepeda motor Tempat penjembutan Dll
1 Hj. Mujo 23, 02,1976 Lima Tidak ada Di bandara juanda
2 H. Syafi’ dan Hj, Rahmah 04. 03, 1992 Sebelas Dua puluh PP. penyepen pamekasan
3 K. H. Abd Wahid dan Hj. Zuiyinah 10, 04, 1996 Tujuh Tujuh Kantor kepresidenan pamekasan.
4 Hj. Sarani 07, 07, 2003 Duapuluh empat Lima puluh Lapangan sepak bola ketapang
6 K. H. Zuhri dan Hj. Mahtum 09, 01, 2008 Empat puluh satu Tidak terhitung Di PP. Bata-bata pamekasan
7 K. H. Sadrih dan Hj. Satrani 17, 11, 2010 Dua belas Tidak ada Dilapangan sepak bola ketapang
8 Hj. Suhdi 17, 11, 2010 Duapulu satu Tidak ada Dilapangan sepak bola ketapang
9 Hj. Suna 17, 11, 2010 Tigapuluh Tidak ada Dilapang sepak bola ketapang
10 H. Suni’mah dan Hj Bu suni’mah 17, 11, 2010 Enam belas Tigapuluh delapan Dilapangan sepak bola ketapang
11 H. Muzehri 23, 11, 2010 Sembilan belas Tidak ada Dilapangan sepak bola ketapang
12 H. Mustar 30, 12, 2009 Dua puluh lima Tidak ada Di PP. Kebun baru pamekasal

Hal demikian hari pertama kedatangannya, pak haji tidak akan bisa tidur nyenyak. Para tamu mengalir sejak dari pagi, siang, atau malam. Tidak cuma lintas desa, tetapi lintas kecamatan. Para tamu datang sembari mendo’akan kemabruran pak haji, juga ingin mendengar perjalanan spiritualnya ke tanah suci. Terahir, giliran para tamu yang minta di do’akan kepada pak haji, biar tahun depan giliran tamu yang ke tanah suci. Dan pula pak haji akan membagikan oleh-oleh. Setidaknya untuk para tamu tersedia kurma. Untuk keluarga dekat atau para sahabatnya bisa ditambah dengan tasbih, sajadah, siwak, atau kopiah putih. Impas. Setelah 40 hari sejak kadatangannya, baru masa terima tamu ditutup.
d. hubungan living law dengan hukum islam
Sebagaimana yang telah kita pahami tentang tradisi penyambutan jamaah haji dengan meriah dikalangan masyarakat dusun morleke bira timur sokobanah sampang, tentu tidak melarang dengan adanya tradisi tersebut. Mengapa demikian, masyarakat tersebut dalam pemmeriyaan itu hanya ingin mebahagiakan terhadap pada orang yang datang dari tanah suci, sehingga kegembiraan, canda dan tangis itu merupakan kesempurnaan bagi jamaah haji,
Akan tetapi menbahas tentang tradisi penjempputan jemaah haji, tidak jauh pula berkaitan dengan hukum, baik dari hukum adat atau-pun hukum islam oleh karena itu, kita perlu menbahas secara mendalam terhadap kebolehan atau larangan penjemputan jamaah haji ;
a. persepektif hukum adat (living law)
Mengenai tradisi itu merupakan suatu penetapan dari kalangan masyarakat yakni kebiasaan-kebiasaan prilaku mansusia yang dijadikan sebuah hukum. Perlu dipahami bahwa adat itu ada dua pertama ; qauli, dan yang kedua ; fi’li..
Dengan demikian tradisi penyambutan jamaah haji dengan meriyah itu termasuk dari adat fi’li. Karena tradisi itu merupakan suatu perbuatan bukan dari perkataaan. Pandangan ini adanya kebiasaan prilaku atau perkataan maka oleh kalangna masyarakat tersebut dijadikan hukum. Mau tidak mau masyarakat harus melakukan adat tersebut.
Jika kembali penbahasan tradisi penyambutan jamaah haji harus dimeriyahkan itu hal suatu kewajiban untuk penyambutan jamaah haji dengan meriyahkan, kenapa demikian?karena adat itu merupakan suatu hukum, apabila hukum itu dilanggar, maka orang tersebut dikenakan sangsi, baik dari tegoran atau-pun sangsi mural.
Seperti dalam qaidah “adat itu dapat menjadi dasar hukum”
Dan apabila penyambutan jamaah tidak dimeriyahkan, maka haji tersebut dikatakan kurang sempurna oleh masyarakat. Karena salah satu syarat untuk kesempurnaan haji itu dimeriyahkan dalam penyambutannya.
b. Perspektif hukum islam
Adapun dari perspektif hukum islam dalam menyikapi terhadap tradisi penyambutan jamaah haji dengan meriyah itu sah-sah saja, dengan catatan tersebut penyambutan tersebut tidak bertentang dengan hukum islam. Karena dalam ajaran agama islam tidak melarang terhadap penyambutan jamaah haji dengan meriyah, akan tetapi bukan penyambutan jamaah haji dengan meriyah kesempurnaan haji, melainkan kesempurnaan dan kewajiban haji apabila orang tersebut dalam penbragkatan dan pulangnya yang mampu penbiyaannya.
Dalam sudah sudah yang difirmankan oleh Allah SWT
................................................................................................................
..................................................................................................................
..................................................................................................................




BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Hasil dari kajian ataupun penelitia, maka penulis dapat menyimpulkan terhadap tradisi penyambutan jamaah haji dengan meriyah, bahwa dengan adanya semacam itu tidak bermasalah bagi masyarakat di dusun morleke desa bira biratimur sokobana sampang. Adat istiadat ini merupaka salah satu untuk dijadikan sebuaah komunitas kemaslahatan dan menjaga keharmonisan terhadap sesama masyarakat.

2. Saran
DAFTAR PUTAKA

Jumat, 01 April 2011

dialektika agama


DIALEKTIKA AGAMA
Oleh ; Abdul Hakim*
"Jangan merasa takut bicara kebenaran dan jangan merasa ragu menegakkan keimanan,
Lebih baik kafir dari pada ragu dalam menegakkan kebenaran!!!"
Defenisi agama di Barat terus menjadi polemik. Menjadi perdebatan dikalangan para pemikir khususnya. Di Indonesia misalanya, para mahasiswa ataupun para santri sudah mengatakan, "Semua Agama Sama". Boleh jadi, besuk akan ada  pak kiai yang mengatakan, "Yesus Tuhan kita juga".

konon katanya beberapa tahun lalu, ada yang mengatakan, ada pemurtadan di UIN Syahid_jakarta pada tahun 2005 silau. Pada nyatanya perkataan-perkataan dapat dibantah oleh salah satu pihak tertentu.
Hal ini, jika berbicara tentang agama, orang islam mengatakan menyatakan islamlah agama yang benar apsolut dan tidak agama yang benar selain agama islam. Begitu pula sebaliknya pernyataan orang non muslim yang menguatkan keyakinannya masing-masing, “Tuturnya”. Namun kebenaran mutlak ini ditolak oleh para thaghut pluralis dan inklusif, JIL dan yang lainnya dengan memaksakan agar Islam jangan merasa benar sendiri tapi perlu melihat kebenaran pada agama lain.

Di pinggir jalan kota Manchester Inggris terdapat papan iklan besar bertuliskan kata-kata singkat ’s like Religion”. iklan itu tidak ada hubungannya dengan agama atau kepercayaan apapun. Di situ terpampang gambar seorang pemain bola dengan latar belakang ribuan supporter nya yang fanatic. Saya baru tahu kalau itu iklan klub sepakbola setelah membaca tulisan di bawahnya Manchester United Sepak bola dengan supporter fanatik itu biasa, tapi tulisan it’s lake religion itu cukup mengusik pikiran saya tuturnya oleh Hamid Fahmy Zarkasyi[1]. Kalau iklan itu dipasang di depan kampus yang bernotabeni agama (terutama agama islam), munkin mereka geregetan. Ini pelecehan terhadap agama. Tapi di Barat agama bisa difahami seperti itu.

Agama adalah fanatisme, kata para sosiolog. Bahkan ketika seorang selebritinya mengatakan My religion is song, sex, sand and champagne. Jagankan agama bahkan pula, god is gilrs itu pun juga masih dianggap waras. Mungkin ini yang disinyalir al-Qur’an ara’ayta man ittakhadna ilaahahu hawaahu (QS.25:43).

Pada dataran diskursus akademik, makna religion di Barat memang problematik. Bertahun-tahun mereka mencoba mendefinisikan religion tapi gagal. Mereka tetap tidak mampu menjangkau hal-hal yang khusus.

Jikapun mampu mereka terpaksa menafikan agama lain. Ketika agama didefinisikan sebagai kepercayaan, atau kepercayaan kepada yang Maha Kuasa (Supreme Being), kepercayaan primitif di Asia menjadi bukan agama. Sebab agama primitif tidak punya kepercayaan formal, apalagi doktrin.

F. Schleiermacher kemudian mendefinisan agama dengan tidak terlalu doktriner, agama adalah “rasa ketergantungan yang absolut” (feeling of absolute dependence). Demikian pula Whitehead, agama adalah “apa yang kita lakukan adalah kesendirian”. Di sini faktor-faktor terpentingnya adalah emosi, pengalaman, intuisi dan etika. Tapi definisi ini hanya sesuai untuk agama primitif yang punya tradisi penuh dengan ritus-ritus, dan tidak cocok untuk agama yng punya stuktur keimanan, ide-ide dan doktrin-doktrin.

Tapi bagi sosiolog dan antropolog memang begitu. Bagi mereka religion sama sekali bukan seperangkat ide-ide, nilai atau pengalaman yang terpisah dari matrik kultural. Bahkan, kata mereka, beberapa kepercayaan, adat istiadat atau ritus-ritus keagamaan tidak difahami kecuali dengan matrik kultural tersebut. Emile Durkheim malah yakin bahwa masyarakat itu sendiri sudah cukup sebagai faktor penting bagi rasa berkebutuhan dalam jiwa. (Lihat The Elementary Forms of the Religious Life, New York, 1926, 207). Tapi bagi pakar psikologi agama justeru harus diartikan dari faktor kekuatan kejiwaan manusia ketimbang faktor sosial dan intelektual.

Para psikolog Barat nampaknya trauma dengan makna agama yang doktriner, sehingga tidak peduli dengan aspek ekstra-sosial, ekstra-sosiologis ataupun ekstra psikologis. Aspek immanensi lebih dipentingkan daripada aspek transendensi.

Sejatinya, akar kebingungan Barat mendefinisikan religion karena konsep Tuhan yang bermasalah. Agama Barat Kristen kata Amstrong dalam sejarah tuhan (History of God) justeru banyak bicara Yesus Kristus ketimbang Tuhan.

Padahal, Yesus sendiri tidak pernah mengklaim dirinya suci, apalagi Tuhan. Dalam hal ini kesimpulan Profesor al-Attas sangat jitu ‘Islam, sebagai agama, telah sempurna sejak diturunkan’. Konsep Tuhan, agama, ibadah, manusia dan lain-lain telah jelas. Konsep-konsep selanjutnya hanyalah penjelasan dari konsep-konsep itu tanpa merubah konsep asalnya. Sedang di Barat konsep Tuhan mereka sejak awal bermasalah sehingga perlu direkayasa agar bisa diterima akal manusia.

Kita mungkin akan tersenyum membaca judul buku yang baru terbit di Barat, Tomorrow’s God (Tuhan Masa Depan), karya Neale Donald Walsch. Tuhan agama-agama yang ada tidak lagi cocok untuk masa kini. Tuhan haruslah seperti apa yang digambarkan oleh akal modern. Manusia makhluk berakal (rational animal) terpaksa menggusur manusia makhluk Tuhan. Pada puncaknya nanti manusialah yang menciptakan Tuhan dengan akalnya.

Kata-kata Socrates: ”Wahai warga Athena! Aku percaya pada Tuhan, tapi tidak akan berhenti berfilsafat”, bisa berarti “Saya beriman tapi saya akan tetap menggambarkan Tuhan dengan akal saya sendiri”. Wilfred Cantwell Smith nampaknya setuju. Dalam makalahnya berjudul Philosophia as One of the Religious Tradition of Mankind, ia mengkategorikan tradisi intelektual Yunani sebagai agama. Akhirnya, sama juga mengamini Nietzche bahwa Tuhan hanyalah realitas subyektif dalam fikiran manusia, alias khayalan manusia yang tidak ada dalam realitas obyektif. Konsep Tuhan inilah yang justeru menjadi lahan subur bagi atheisme. Sebab Tuhan bisa dibunuh.

Jika Imam Al-Ghazzali dikaruniai umur hingga abad ini mungkin ia pasti sudah menulis berjilid-jilid Tahafut.

Sekurang-kurangnya ia akan menolak jika Islam dimasukkan ke dalam devinisi religion versi Barat dan Allah disamakan dengan Tuhan spekulatif. Jika konsep Unmoved Mover Aristotle saja ditolak, kita bisa bayangkan apa reaksi al-Ghazzali ketika mengetahui tuhan di Barat kini Tidak lagi Maha Kuasa (god is not longer Supreme Being).

Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya rekayasa akal manusia. Bukti Tuhan harus mengikuti peraturan akal manusia. Ia tidak boleh menjadi tiran, tidak boleh ikut campur dalam kebebasan dan kreativitas manusia. Tuhan yang ikut mengatur alam semesta adalah absurd. Tuhan yang personal dan tiranik itulah yang pada abad ke19 dibunuh Nietzche dari pikiran manusia. Tuhan Pencipta tidak wujud pada nalar manusia produk kebudayaan Barat. Agama disana akhirnya tanpa Tuhan atau bahkan Tuhan tanpa Tuhan.

Disini kita baru faham mengapa Manchester United dengan penyokongnya itu like religion. Malu mengatakan it’s really religion but without god.

Kini di Indonesia dan di negeri-negeri Muslim lainnya cendikiawan Muslim mulai ikut-ikutan risih dengan konsep Allah Maha Kuasa (Supreme Being). Tuhan tidak lagi mengatur segala aspek kehidupan manusia. Bahkan kekuasaan Tuhan harus dibatasi. Benteng pemisah antara agama dan politik dibangun kokoh. Para kyai dan cendekiawan Muslim seperti berteriak ”politik Islam no” tapi lalu berbisik “berpolitik yes”…”money politik la siyyana”

Tapi ketika benteng pemisah agama dan politik dibangun, tiba-tiba tembok pemisah agama-agama dihancurkan. “Ini proyek besar kawand!” kata fulan berbisik. “Ini zaman globalisasi” kata Profesor pakar studi Islam. Santri-santri diajari berani bilang “ya Akhi tuhan semua agama itu sama, yang beda hanya namaNya”.

”Gusti maulud Nabi sama saja dengan maulud Isa atau Natalan”. Mahasiswa Muslimpun diajari logika realitas “jangan ada yang menganggap agamanya paling benar”. Para ulama diperingati “jangan mengatasnamakan Tuhan”. Kini semua orang “harus” menerima pluralitas dan pluralisme sekaligus, pluralisme seperi juga sekularisme dianggap hukum alam. Samar-samar seperti ada suara besar mengingatkan “kalau Anda tidak pluralis pasti anda teroris”.

Kini agar menjadi seorang pluralis kita tidak perlu meyakini kebenaran agama kita. Kata-kata Hamka “yang bilang semua agama sama berarti tidak beragama” mungkin dianggap kuno. Kini yang laris manis adalah konsep global theologynya F. Schuon. Semua agama sama pada level esoteris. Di negeri Muslim terbesar di dunia ini, lagu-lagu lama Nietzche tentang relativisme dan nihilisme dinyanyikan mahasiswa Muslim dengan penuh emosi dan semangat. “Tidak ada yang absolut selain Allah” artinya ‘tidak ada yang tahu kebenaran selain Allah’. Syari’ah, fiqih, tafsir wahyu, ijtihad para ulama adalah hasil pemahaman manusia, maka semua relatif. Walhal, Tuhan tidak pernah meminta kita memahami yang absolut apalagi menjadi absolut. Yang relatif pun bisa mengandung yang absolut. Secara kelakar seorang kawan membayangkan di Malang nanti ada papan iklan besar bergambar seorang kyai dengan latar belakang ribuan santri dengan tulisan singkat “Yesus Tuhan kita juga”.
Dengan dmikian kritikan demi kritikan dari belbagai tokoh baik kalangan masyarakat maupun ulama’ yang masih belum sepaham tentang keagamaan. Padahal merekalah (tokoh perubahan) yang pantas untuk dipuji dan di hormati terhadap keberanian bebas berfikir, bukan hanya semata-merta diklaim sesat, kufur dsbg.
Lagi pula mereka (para pengkritik) belum tentu menberi perubahan kepada umat yang masih terisolasi dalam dunia primitif.
*Mahasiswa Universitas Isalm Negri Maliki Malang, aktif di organisasi HMI Komidariat Syaeko, dan IMABA (Ikatan Mahasiswa Bata-Bata) Wilayah Malang.




[1] Pemimpin Redaksi ISLAMIA, majalah pemikiran dan peradaban Islam. Penulis kini menyelesaikan S3 nya di ISTAC (International Islamic Thought and Civilization),